Blunder Hadist Disinonimkan Sunnah

Bookmark and Share


13251413141969044905




Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad. Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum yang memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur’an.

Hadis tidak bisa disejajarkan dengan Al Qur’an, sumber pertama ajaran Islam. Demikian sepeti dikatakan professor Saum Yeprem (lihat Turki). Namun, pada sisi lain, hadis juga bukan hanya cuplikan-cuplikan sejarah kehidupan nabi. “Salah satu ayat Al Qur’an menyatakan: kerjakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah, dan tingalkan apa yang ia larang”. Dengan demikian, hadis merupakan bagian tak terpisahkan dalam ruang lingkup agama Islam. Bagi seorang muslim yang saleh, hadis merupakan pedoman akhlaknya.

Dengan catatan, Allah SWT tegas memperingatkan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [17:36].

Tetapi rekayasa ulama klassik serta para penerusnya itu nyata telah membawakan kebodohan umat dalam skala luas selama 1000 tahun ini. Kebodohan yang lebih tepatnya disebut krisis karakter. Mengakibatkan umat tidak mampu menghadapi tantangan hidup dengan baik dan benar. Mulai dari perilaku sehari-hari yang menggelikan sampai pun kepada yang mengerikan. Mereka tidak segan meninggalkan akal sehat demi mentaati hadis seperti yang diajarkan ustadz.

Hadits munkar cenderung menzalimi agama, adat istiadat, kearifan-kearifan lokal dan identitas bangsa; menggantikannya dengan dalil-dalil yang tidak layak dan mencelakakan, seperti: “Aku diperintahkan utk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan itu semua maka mereka terjaga dariku darah dan harta kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka atas Allah.”

Malahan perang-perang itu sekarang bukan antara muslim dan kafir melainkan sesama muslim sendiri yang saling mengkafirka, kotor brutal dan biadab.

Sedangkan perintah Allah SWT sangat jelas tentang hukum perang: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [2:190].

Meski dikatakan hadis memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur’an tetapi nyatanya mereka lebih mengedepankan hadist dari pada Al Quran yang hanya menjadi hafal-hafalan.

Sanad Dan Matan

Hadits terdiri dari dua komponen utama sanad/ isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Kedua-duanya bermasalah berat dan rumit.

Sebagaimana dikritisi oleh Abu Yazid Al-Busthami: “Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat….., bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ? Tentu akan dijawab : ‘Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal’. (Kemudian) dari Fulan (lagi). Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : ‘Ia telah meninggal’”.

Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, “Ulama Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka….”

Sejarahnya

Pada mulanya hadis tidak dikumpulkan seperti Al Quran karena banyak ucapan Rasulullah yang maksudnya melarang membukukan hadits. Baru pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dan sesudahnya, hadis-hadis dikumpulkan, 200-300 tahun sepeninggal Nabi. Suatu kurun waktu kekosongan yang terlalu panjang.

Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H) Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H) Sunan Abu Daud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H) Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)

“…. kompilasi hadis tersebut tidak bisa dilepaskan dari pertikaian politik yang terjadi pada abad tersebut. Keluarga Kanjeng Nabi Muhammad (Fathimah, Ali, Hasan dan Husein + beberapa istrinya seperti Hafshah, Salamah, Shafiyah dan Aisyah) yang sepatutnya menjadi sumber dan rujukan utama hadis malah hilang dari peredaran. Kebanyakan hadis disampaikan oleh sahabat-sahabat yang bisa diterima oleh pemerintahan Bani Umayyah maupun Abbasiyyah. Maka, terjadilah klaim-klaim hadis yang membuat umat Islam semakin keruh dalam memahami Islam itu sendiri….. “

“…. Akhirnya, ulama banyak yang terpaku pada Islam abad III H. Hasilnya, mulai abad ke-4 H umat Islam mulai mandek, dan semakin abad semakin tertinggallah kejayaan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi!” (Chodjim, sumber).

Semua ilmu yang pernah berkembang didunia Islam dipaksakan untuk tunduk kepada hegemoni “sunnah rasul”, karena telah mendapat justifikasi dari penguasa. Apakah dengan cara kekuasaan, siksaan fisik maupun ancaman-ancaman yang menyebabkan tidak boleh ada perbedaan dalam kancah keilmuan.

Pelajaran Dari Turki

Pada tahun 2008 Turki dibawah PM Erdogan melaksanakan kajian ilmiah tentang hadis-hadis mengenai sejarah kehidupan Nabi Muhammad. Dibentuk team dari 80 pakar dengan Profesor Saim Yeprem sebagai ketuanya yang juga tokoh guru besar.

Apakah hadis-hadis mengenai Nabi Muhammad sangat penting dalam Islam? Beliau tersenyum mendengarnya dan ia mendapat peluang untuk menjelaskan secara panjang-lebar, proyek penelitian yang ia pimpin. Suatu kajian ilmiah kritis atas ratusan-ribu hadis nabi.

Tentu saja, hadis tidak bisa disejajarkan dengan Al Qur’an, sumber pertama ajaran Islam. Demikian awal penjelasan sang gurubesar. Namun, pada sisi lain, hadis juga bukan hanya cuplikan-cuplikan sejarah kehidupan nabi. “Salah satu ayat Al Qur’an menyatakan: kerjakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah, dan tingalkan apa yang ia larang”. Dengan demikian, hadis merupakan bagian tak terpisahkan dalam ruang lingkup agama Islam. Bagi seorang muslim yang saleh, hadis merupakan pedoman akhlaknya.

Beberapa pihak menilai, proyek penelitian Turki ini tidak saja dianggap kritis, tapi sebenarnya ingin memodernisasikan Islam. Itu tidak benar, sanggah profesor Yeprem tegas. “Hanya ada satu Islam, dan kami tidak melancarkan reformasi”, katanya.

Berulang-kali para ulama Turki menggarisbawahi bahwa inti ajaran Islam tidak akan berubah. Namun, juga menyatakan pentingnya ‘menerjemahkan’ Islam ke dalam konteks dunia modern.

Bardakoglu, menteri agama Turki, mengatakan kepada harian Sabah: “Sebuah team 80 cendekiawan muslim sekarang sedang mengkaji semua hadis yang ada. Contohnya, kata-kata yang merendahkan kaum perempuan yang dinisbahkan kepada nabi. Kita sedang menyisiri interpretasi-interpretasi seperti itu. Kita akan menerbitkan enam jilid. Bagaimana pun bukan reformasi pada Islam… kita tidak merformasi Islam; kita mereformasi diri kita sendiri; jalan religiositas kita sendiri.”

Pernyataan-pernyataan mereka selalu penuh kehati-hatian, dengan juga menyadari bahwa negara Turki mempunyai kedudukan khusus dalam dunia Islam. Namun tidak terhindarkan dinggungnya hadis ekstrim yang memang layak diamputasi, seperti:

“Women are imperfect in intellect and religion.”

“The best of women are those who are like sheep.”

“If a woman doesn’t satisfy her husband’s desires, she should choose herself a place in hell.”

“If a husband’s body is covered with pus and his wife licks it clean, she still wouldn’t have paid her dues.”

“Your prayer will be invalid if a donkey, black dog or a woman passes in front of you.”

Soetarno Wreda