Tarbiyah Dalam Filosofi dan Simbolisasi Jogjakarta

Bookmark and Share


Masyarakat Jawa dalam sejarahnya sarat dengan simbol-simbol dalam tiap ajarannya. Terkadang, banyak simbol-simbol yang terkesan mengandung animisme dan dinamisme. Namun, tahukan teman-teman semua bahwa simbol-simbol dalam budaya Jawa sebenarnya banyak mengandung nilai pendidikan? Hmm… kesan animisme,dinamisme, klenik atau apa pun itu dalam budaya Jawa sebenarnya adalah bumbu tak sedap yang sengaja ditambahkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam melestarikan budaya Jawa. Siapakah orang-orang itu? Siapa lagi kalau bukan kolonial Belanda yang tidak ingin masyarakat Indonesia menjadi pintar dan religius.



Baiklah saya tidak akan membahas kejahatan kondpirasi kolonial Belanda untuk membodohi masyarakat Indonesia. Tapi di sini saya akan membahas mengenai bagaimana orang-orang ‘dulu’ memiliki niatan luhur untuk mewariskan nilai-nilai tertinggi sebagai manusia kepada kita. Pun dengan Jogjakarta sebagai kota yang sarat dengan nilai budaya Jawa. Untuk itu kita akan bahas pelajaran-pelajaran bermakna yang terdapat dalam perjalanan menyusuri Krapyak sampai Tugu Jogja, yang saya sebut Tata Kota yang Berkemanusiaan.



Kita mulai perjalanan dari Krapyak, Jogjakarta. Di sini ada pesantren yang cukup terkenal yakni Al Munawwir. Siapa yang menyangka bahwa Krapyak dulunya adalah hutan belantara yang bisa digunakan keluarga Sultan untuk berburu?? Hutan dalam filosofinya melambangkan kegelapan. Maka keluar dari Krapyak adalah simbolisasi dari keluar dari kegelapan. Next place adalah Plengkung Gading atau yang sering disebut Wijen. Wijen dalam budaya Jawa memiliki arti biji. Maka di sinilah kemudian kita menjadi biji yang siap untuk tumbuh. Setelah tumbuh dari Wijen maka kita akan melalui Alun-Alun Selatan. Dulu, alun-alun selatan memilki susunan taman dengan pohon yang berjajar teratur. Maka di sinilah, biji itu ditanam yang akan tumbuh teratur. Setelah biji ini ditanam, maka kita akan melakukan perjalanan yang diawali dari Kompleks Kraton. Di kompleks inilah terjadi kompleksitas hidup. Di dalamnya terdapat miniatur hidup dengan segala tempaannya. Dengan kata lain, di sinilah proses tarbiyah itu berlangsung.



Setelah melalui proses tarbiyah yang cukup panjang, maka keluarlah kita dari kompleks Kraton dan menuju Alun-alun Utara yang dulunya adalah tempat yang sepi. Here it is. Tempat meditasi alias menyepi. Di sini diibaratkan jiwa manusia menjadi sunyi dari kesenangan-kesenangan dunia. But, wait….our journey doesn’t stop here. Setelah ini kita akan menemui godaan pertama, godaan syubhat, yakni perempatan kantor pos besar. Terdapat empat simpang besar yang merupakan simbol dari pilihan-pilihan kita sebagai manusia. Keyakinan kita terhadap Ihdinasshirathal Mustaqim diuji.




Alhamdulillah, ujian pertama terlewati. Tetap fokus dan berjalan lurus. Kita akan menemui pasar Bringharjo yang merupakan simbol godaan untuk mampir dan menghentikan perjalanan sejenak. Maka tetap menatap ke depan dan fokus pada tujuan yaknik Tugu Jogja. Berhasil! Tetap berjalan lurus. Dan kemudian kita akan menemui godaan puncak dari semuanya, yakni godaan kekuasaan yang dilambangkan dengan Kepatihan.



Jika kita berhasil melewati Kepatihan maka tak lama lagi kita akan sampai di Tugu Jogja. Tugu Jogja yang runcing ke atas melambangkan hubungan vertikal dengan Allah swt. Sehingga dapat diartikan bahwa kehidupan yang lurus adalah kehidupan yang kembali kepada Allah swt. Perjalanan menuju kebenaran langit yang akan membawa kita kepada kebaikan dunia.^^



Coba perhatikan, perjalanan antara Krapyak dan Tugu terletak dalam satu garis lurus. Artinya, tata kota semacam ini tidak mungkin direncanakan dalam semalam. Tapi tentunya dengan perencanaan yang matang dan direncanakan oleh orang-orang yang berilmu juga. Sayangnya, penerjemahan simbol dan filosofi semacam ini sudah jarang dikaji atau mungkin memang saya yang kurang update. Hehe

taken from pelajaran Abi dalam Hikmatuttasyri’


@masjid Rumah Allah

Kusuma Wardhani