[Sejarah] Da’ Su’ = Dancuk

Bookmark and Share




Mendengar kata “dancuk”. Orang akan berasumsi bahwa kata itu adalah hardikan. Dalam bahasa Jawa disebut misuh. Atau, bagi orang yang ngeres pikiran akan menerjemahkan dengan sesuatu yang saru. Yakni, pikiran yang berbau-bau porno. Padahal fakta sejarah munculnya kata tersebut lebih merupakan eksistensi budaya pesisiran. Utamanya, yang berkembang di daerah Ampel Denta, Surabaya. Yang jaman dulu dikenal dengan Ampil Dental. Yaitu, daerah merdekan Kerajaan Majapahit.


Berawal di jaman Kerajaan Majapahit dipimpin Raden Wijaya. Yang saat itu Raden Wijaya sudah memeluk Islam. Karena toleransi yang dilakukan Raden Wijaya terhadap warga kerajaan. Ke-Islam-an Raden Wijaya tidak ditampakkan dengan alasan strategi dakwah.


Sebagai seorang muslim. Raden Wijaya berazzam dinul Islam dapat berkembang pula di kerajaan yang dipimpinnya. Kamudian, diputuskan untuk mengundang Rahmatullah. Yang kemudian diangket menjadi walikota pertama Ampel Denta. Yang bergelar Sunan Ampel. Dengan wilayah administratif meliputi Ampel dan wilayah-wilayah yang penduduknya beragama Islam.


Rahmatullah. Yang kemudian mendapat julukan raden dari banyak orang Majapahit, adalah keturunan Arab Yaman. Tepatnya, Hadramaut. Namun dia dilahirkan di Malaka. Dalam jaringan dakwah walisongo. Raden Rahmat termasuk jajaran walisongo angkatan yang ke III. Perlu diketahui untuk angkatan yang ke I dan ke II. Kendali menejemen dikendalikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Adapun yang gelombang ke III. Sudah dikelola oleh para sultan dan raja-raja Islam Nusantara.


Tanah merdekan dari Raden Wijaya tersebut luasnya kurang lebih 90 hektar. Yang didominasi rawa-rawa dengan sungai pegirikan sebagai lalu-lintas airnya. Setelah Raden Rahmat berhasil membangun rawa-rawa Ampel Denta. Mulai banyak orang mengunjungi Ampel Denta. Sudah barangtentu dengan banyak kepentingan. Utamanya, untuk belajar dinul Islam.


Sejarah mencatat. Sungai Pegirikan saat itu sangat lebar lagi dalam. Sehingga tidak mengherankan banyak kapal dengan tonase 100-200-an yang bersandar di sungai tersebut. Praktis dalam waktu singkat wilayah mardikan Ampel Denta menjadi ramai sekali. Tidak saja banyak orang yang studi ke-Islam-an. Tetapi, juga menjadi pelabuhan yang banyak dipadati kapal-kapal dari wilayah lain, terutama yang berasal dari Bugis, Makassar.



Geliat bisnis dan keilmuan menjadi marak. Ampel Denta tumbuh menjadi bagian wilayah Kerajaan Majapahit yang berdiri di atas pilar: Tradisi keilmuan dan Tradisi perdagangan. Maka, eksistensi Masjid Ampel benar-benar kokoh lagi kuat. Sebab, ditopang oleh kedua tradisi tersebut. Kedua tradisi itu tampaknya yang sekarang mulai hilang, atau sengaja dihilangkan oleh para musuh bangsa dengan memanfaatkan kelatahan mayoritas masyarakat Indonesia; khususnya warga Kota Surabaya.


Bahkan dalam konteks Nasional. Bangsa Indonesia juga mengalami kehilangan dua tradisi itu. Yang sebelum Perjanjian Bongaya 1667. Bangsa Indonesia dikenal dengan bangsa bahari yang mengarungi samudera dunia hingga Madagaskar dan Malvinas. Perjanjian Bongaya benar-benar menjadi tonggak bersejarah bangsa Indonesia dipaksa VOC Belanda mengubah kepribadian dan karakter. Yakni, dari kepribadian dan karakter sebagai bangsa maritim. Kemudian, diubah menjadi bangsa agraris. Sangat tidak masuk akal apabila negara Indonesia yang memiliki luas lautan 70% dibandingkan luas daratan. Kemudian, menyebut dirinya sebagai negara agraris. Inilah awal istilah yang latah. Yang sengaja diciptakan oleh VOC Belanda.


Di mana banyak sumur. Di situ pasti banyak comberan air limbahnya. Di mana banyak manusia berkumpul. Di situ dampak sosial pasti muncul. Baik dampak sosial yang positif maupun negatif. Demikian yang terjadi di wilayah Ampel Denta. Perilaku manusia mulai berubah ketika hidupnya mulai mapan. Sungai Pegirikan yang dulunya sepi. Saat itu mendadak berubah menjadi tempat bongkar muat kapal-kapal besar antar pulau.


Melihat kondisi sosial yang sudah mulai berubah. Dekadensi moral mulai tampak. Maka, lahir icon dakwah di wilayah Ampel Denta supaya meninggalkan yang buruk. Guna menegakkan tatanan yang bagus dalam rangka mengaplikasikan amar makruf nahi munkar. Icon dakwah itu adalah “da’ su’”. Yang artinya “tinggalkan yang buruk”. Yaitu, da’ artinya “tinggalkan” dan su’ yang berarti “buruk” atau keburukan.


Bagi warga Ampel dan sekitarnya tidak ada masalah dengan pelafadzan “da’su’”. Tetapi, tidak demikian dengan saudara kita yang berasal dari Bugis, atau Makassar dan sekitarnya. Huruf “s” berubah menjadi huruf “c” dalam pelafadzannya. Soto berubah menjadi coto. Pun pula dengan da’su’ berubah menjadi da’cu’.



Akhirnya, kata-kata tersebut berkembang sangat pesat. Ingat salah satu ciri budaya pesisir itu adalah sifatnya terbuka dan mudah sekali berkembang. Maka, istilah da’cu’ terus berkembang. Hingga mengalami kristalisasi istilah pada pelafadzan dancuk. Dengan perubahan maksud yakni untuk menghardik. Dengan stereotif yang sangat negatif.


Sekaranglah era yang tepat guna mengembalikan asal-muasal dancuk. Sehingga masyarakat paham maksud dan artinya. Sekalipun orang mengatakan dancuk. Tetap saja diterjemahkan dengan “tinggalkan yang buruk”.


Bahkan sudah saatnya pula Cak dan Cuk menjadi icon Kota Surabaya. Kota Bonek. Kota Pahlawan. Kota Hijau. Kota Mall. Dengan memahami Cak yakni: “Cakap-Agama-Komitmen”. Maksudnya, apabila seseorang itu komitmen dengan agama yang diyakini. Maka, lahirlah kecakapan dalam dirinya. Yang ditandai dengan Cuk. Yaitu: “Cerdas-Ulet-Kreatif”. Wa-llahu a’lam [ ]


Omda Luthfi Muhammad