Kesadaran Saya pada Sejarah Mulai Tergugah

Bookmark and Share


Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad

ALHAMDULILLAH, pekan kemarin sambil ngalempreh kulantaran keuna cacar, saya kembali menyelesaikan baca buku hingga tamat. Buku ini judulnya “Muhammad, Sang Teladan” karya cendekiawan Mesir Abdurrahman Asy-Syarqawi.

Buku tersebut aslinya berjudul “Muhammad Rasuulul Hurriyyah” yang diterjemahkan oleh KH.Baihaqi Syafiuddin kemudian diterbitkan Irsyad Baitus Salam, 2007, dengan tebal buku 757 halaman. Terjemahan buku “Muhammad Rasuulul Hurriyyah” ini pernah diterbitkan juga oleh Penerbit Sygma dengan judul “Muhammad, The Messengger”.

Saya mendapatkan buku “Muhammad, Sang Teladan” ini di pameran buku di Bandung. Buku tebal ini saya beli seharga Rp35.000,00. Cukup murah. Biasanya buku yang setebal ini dijual dengan harga lebih besar.

Saya membelinya karena murah dan memang sedang tertarik membaca buku-buku yang berkaitan dengan Muhammad Rasulullah saw. Ketertarikan ini dimulai ketika saya membaca buku Ustadz Jalaluddin Rakhmat yang berjudul “Al-Mushthafa, Manusia Pilihan yang Disucikan” dan “The Road to Muhammad”.

Dari kedua buku tersebut, kesadaran saya pada sejarah mulai tergugah. Meski saya pernah kuliah di jurusan sejarah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, tetapi wawasan sejarah dan metodologi kesejarahan yang saya dapatkan terasa kurang.

Apalagi setelah membaca metode kajian kritis historis yang dikemukakan Ustadz Jalal pada buku Al-Mushthafa, saya merasakan betapa tidak kritisnya dalam membaca sejarah Rasulullah saw.

Buah dari membaca buku Ustadz Jalal, ketika membaca sejarah Nabi Muhammad saw dari orang yang kurang dipercaya secara keilmuan dan karier akademisnya, saya langsung menaruh rasa kurang percaya. Setiap kali menemukan yang tidak logis dan tidak sesuai dengan gambaran Muhammad saw dalam Al-Quran maka saya pertanyakan kembali kebenarannya.

Dalam Al-Quran disebutkan Nabi itu seorang manusia suci, teladan, dan berakhlak mulia. Kalau bertentangan dengan yang disebutkan Quran maka sumbernya perlu dikaji kembali.

Sayangnya, ketika saya menemukan fakta sejarah yang tidak sesuai dengan gambaran dalam Quran, saya tidak dapat menelusuri sumber-sumber yang digunakannya. Selain karena keterbatasan dalam akses bahasa juga pengetahuan saya yang sangat minim. Saya sadar bahwa keterbatasan tersebut harusnya diimbangi dengan seringnya berdialog dan bertanya dengan orang-orang yang ahli dalam bidangnya.

Di Indonesia belum ada orang yang mumpuni dalam kajian sirah nabawiyah. Memang ada Ustadz Jalal yang telah merintis kajian kritis sirah nabawiyah yang dibukukan dengan judul Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan. Namun sayangnya beliau lebih dikenal sebagai sosok cendekiawan dan ulama serta tidak memiliki disiplin dalam ilmu-ilmu sejarah. Meski begitu, saya melihat pada bukunya bahwa Ustadz Jalal telah menunjukkan kepiawaiannya dalam menggunakan metodologi sejarah dengan ilmu hadis serta analisa filsafat posmodernisme.

AHMAD SAHIDIN