Sejarah Perkembangan Politik Balandongan

Bookmark and Share


Akan saya ceritakan satu sejarah ,perjalanan Politik di Balandongan dari waktu ke waktu. Tahun 1930, di Balandongan dan sekitarnya pernah hidup seorang ulama yang gigih melawan Belanda. Dan dicari-cari oleh Belanda. Beliau adalah Mama Haji Sulaeman. Bukti-bukti tertulis memang tidak ada. Kecuali cerita dari mulut ke mulut tentang bagaimana gigihnya Haji Sulaeman dalam memerangi kebodohan yang disebarkan oleh Belanda. Beliau mendirikan pondok pesantren, lembaga rakyat yang ditakuti oleh Belanda waktu itu. Sebab Belanda mendirikan lembaga pendidikan berbasis rasisme dan materi. Orang bersekolah harus sesuai dengan status sosialnya. Ada sekolah elit juga ada sekolah rakyat.

Orang-orang mengaji di pondok pesantren yangg didirikan oleh Haji Sulaeman. Belanda takut dengan ini. Maka dihembuskanlah fitnah jika beliau merupakan orang yang dicari-cari Belanda (baca: pemerintah). Belanda hanya takut oleh satu hal. Takut Inlander menjadi orang-orang cerdas yang memahami pertanda. Maka siapa pun yang menjadi pangkal utama penyebab cerdasnya rakyat harus ditangkap dan dibatasi ruang geraknya. Termasuk Haji Sulaeman. Konon waktu itu, siapa pun yang bertitel haji dan santri ditangkapi… Dibawa ke penjara Belanda di wilayah Ubrug.

Sebetulnya bukan mendirikan pondok pesantren saja. Sebab pada tahun 1935 di Balandongan didirikan juga sekolah agama rakyat. Sebuah sekolah pertama di wilayah tersebut. Belanda telah memilih para CP/ mata-mata untuk mengawasi hal ini. Orang-orang dari berbagai pelosok sekolah ke sana. Bisa disebut, Balandongan telah menjadi pusat pendidikan selain Gunung Puyuh,

Sekitar tahun itu. Ada kejadian besar. Mayat seorang CP/ mata-mata Belanda ditemukan di pinggir selokan dekat rumah panggung Ama Erpol. Mayat tersebut tanpa celana dan kemaluannya terpotong. Ini menjadi alasan Belanda mengkonsentrasikan pasukannya di Balandongan. Imbasnya, kakek saya pun ditangkap.

Pada suatu hari bertepatan dengan Hari Jum’at. Maka, dicarilah Haji Sulaeman oleh Belanda. Ada kejadian ganjil. Waktu itu Haji Sulaeman sedang menyapu halaman mesjid. Pasukan Belanda bertanya kepada beliau: ” kamu melihat dimana Sulaeman?”

Pada tahun 1935-1950an, sekolah agama rakyat yang didirikan oleh Haji Sulaeman berkembang pesat. Orang-orang, dari berbagai pelosok menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Sebelum masuknya Jepang Ke Indonesia, Belanda semakin takut dengan gerakan rakyat dalam hal pendidikan ini.

Belanda semakin curiga terhadap gerak-gerik semua orang. Menjelang indonesia Merdeka, setelah Jepang menyerah kepada sekutu. Dilakukanlah operasi besar-besaran di Kampung Balandongan. Belanda dibantu oleh CP/mata-matanya, menggeledah semua rumah penduduk. Bayi yang masih dibungkus dengan kain pun tak luput dari sasaran, dilemparkan karena dianggap senjata. itulah rasa takut yang berlebihan dari Belanda.

Dari taun 1948-1959 teror terus menghantui warga Balandongan. Sebuah rumah di Balandongan kidul dibakar. Letusan-letusan yang keluar dari senapan terdengar. Para wanita mengungsi sampai ke bojong kalong, harus melewati sebuah gunung di selatan Sukabumi. Dalam situasi seperti ini, ada upaya-upaya politis dari beberapa Partai Politik untuk mencari simpati dari rakyat Balandongan. PKI pun pada masa ini tidak ketinggalan ingin mendapatkan dukungan dari orang Balandongan. Hanya saja , partai dengan ideologi Marxisme ini kurang mendapat respon positif dari masyarakat. Meskipun dmikian ada beberapa orang yang masuk ke dalam wadah yang menjadi tulang punggung PKI seperti BTI.

Pasca kemerdekaan, dari tahun 1946-1955, Masyumi merupakan Partai yang digandrungi oleh penduduk Balandongan. Hanya sebagian kecil saja orang yang memilih Partai dengan azas Nasionalis. Tak pelak, pada Pemilu 1955 , Masyumi menang telak di daerah ini. Akar sejarah ini yang menjadi penyebab, di zaman Orde Baru, PPP selalu lebih dominan dari GOLKAR dan PDI. Imbasnya adalah pada tahun 1995, ada beberapa orang yang bergabung dengan Kelompok Darul Arqom, yang menitik beratkan pada penerapan Syariat Islam. Mereka ditangkap oleh aparat waktu itu.

Ekses dari akar sejarah ini, sampai era reformasi, Orang Balandongan lebih dominan untuk memilih partai berazaskan Islam. Seperti pada Pemilukada 2008, ketika wilayah-wilayah lain, kelurahan-kelurahan lain lebih memilih pasangan Muslikh-Mulyono yang diusung oleh GOLKAR, Partai Demokrat, dan PAN.. orang Balandongan lebih suka memilih pasangan Yudi-Iwan yang didukung oleh PKS dan PDIP. Ya, dari 33 Kelurahan yang mengikuti PILKADA Walikota, hanya Kelurahan Sudajayahilir yang tidak dimenangkan oleh Pasangan Muslikh-Mulyono ( Walikota dan Wakil Walikota sekarang)

Aliran dan Madzhab yang dianut oleh orang Balandongan sempat menjadi pemicu retaknya hubungan sosial. Padahal yang diwariskan oleh Haji Sulaeman, pendiri pondok pesantren dan sekolah agama rakyat itu bukan apa-apa, kecuali agar semua orang hidup dalam satu ikatan.

Pada tahun 1980, mulai masuk madzhab - Wahhabi-. Orang-orang yang memiliki akar sejarah terhadap gerakan Islam lebih memiliki aliran ini. Ini menjadi pemantik konflik horizontal berkepanjangan selama satu dekade. Antara yang melaksanakan Qunut dan tidak Qunut. Antara Ghobiriin dan Wahhabi. Bahkan sempat bertengkar secara fisik. Adu mulut dan argumentasi di dalam pengajian sudah menjadi rahasia umum. Dari mulai Jum’atan sampai Idul Fitri, mereka pecah menjadi dua Kubu.

Lalu setelah runtuhnya orde lama, satu dekade ke depan dibentuklah WABELU, wajib Bela Umum. Perangkat pemerintah yang menjadi mesin politik di tingkat desa waktu itu. Bidikannya adalah para petani agar mendukung sepenuhnya kekuatan Orde Baru. Dan ini terbilang efektif. Para simpatisan Masyumi mengalihkan pilihannya ke GOLKAR. Hanya saja walaupun banyak orang yang “Hijrah Politik”, dari Masyuwi ke GOLKAR, dari taun 1977-2009 GOLKAR tidak pernah menjadi Partai Politik Dominan di Balandongan. Seperti pada tahun 1997 target pencapaian 60% suara tidak tercapai sama sekali. Raihan suara antara PPP dan GOLKAR sangat berimbang. Sementara PDI dipastikan jatuh di wilayah ini.

Dengan digantinya lambang ka’bah menjadi bintang di era Orde Baru. Pemerintah berusaha memutus sentimen keagamaan. Dimunculkan simbol baru berupa kata “pembangunan”, semua aspek kehidupan dan sepak terjang siapa pun harus mengacu kea rah pembangunan yang telah direncanakan oleh Pemerintah, para pembangkang bukan sekedar dari sikap saja, ketika berbeda haluan pun mereka akan dicap telah melakukan sub-versi, sikap yang membahayakan bagi kestabilan negara. Orang-orang Balandongan karena memiliki akar sejarah yang bersentuhan dengan partai Islam masih tetap banyak yang memilih PPP. Saat GOLKAR semakin naik daun di Indonesia. Friksi dan clash horizontalantara kedua pendukung selalu terjadi di setiap pemilu.

Untuk meraih simpati para pemuda, dilakukan penataran-penataran bersifat doktrinasi. Dan ini berhasil… Mayoritas pemuda memilih partai yang berbeda dgn orangtua mereka. Partisipasi pemilih dari taun 1982-1997 dipastikan 99%.

Desa Sudajayahilir terdiri dari 6 (enam) kampung. Begeg, Lio, Balandongan, Pangkalan, Pasir pogor, dan Cibodas. Dari ke 6 (enam) kampung tersebut, 5 (lima) kampung di dominasi oleh GOLKAR. Hanya Balandongan yang selalu dimenangkan oleh PPP dalam setiap pemilu masa Orde Baru.

Tahun 1995 dilangsungkan pemilihan kepala desa di Balandongan. U.Sukatma (alm) yang didukung oleh masyarakat pemilih PPP unggul dari calon lain yang didukung oleh para pemilih GOLKAR. Namun pasca pemilihan kades terjadi arus balik politik, dimana kepala desa baru harus menyesuaikan terhadap kondisi politik waktu itu dengan menjadikan GOLKAR sebagai pilihannya. Masyarakat pemilih PPP merasa dikecewakan terhadap pilihan tersebut. Namun, hal itu tidak berlangsung berlarut-larut. Di pemilu 1997 suara PPP kian merosot di Balandongan karena satu hal. Pemerintah berhasil menjinakkan kekerasan politik berbasis akar sejarah dgn satu hal: pengaspalan jalan.

Perolehan suara berimbang walaupun secara keseluruhan untuk desa Sudajayahilir ini GOLKAR menang!

Pemilu pasca reformasi tahun 1999. Diikuti oleh banyak partai. PPP berlambang ka’bah kembali. Simbol keagamaan yang digunakan oleh partai politik kembali meriah. Partai-partai lama bangun kembali. Partai baru yang didirikan oleh aktivis islam berbasis kampus: Partai Keadilan tidak mendominasi akar rumput di pedesaan. Bisa jadi karena terlalu modern waktu itu.

Pemilu 1999 di Balandongan masih didominasi oleh GOLKAR dan PPP. PPP menggunakan jargon ” Kami Tetap Istiqomah “ tersebut masih menjadi pilihan sebagian besar masyarakat Balandongan kidul. Sementara Partai Keadilan memperlihatkan perkembangannya di Balandongan kaler. Secara keseluruhan GOLKAR menang tipis. Partai-partai yang berazas Islam pun tidak terlalu signifikan meraih suara. PDIP mengalami peningkatan tajam. Para pemuda tertarik dgn jargon PERJUANGANnya.

Di Pemilu 2004 dan 2009, orang-orang Balandongan mulai mengalihkan pilihan. Kehidupan semakin cair. Perolehan suara antara GOLKAR dan Partai Demokrat berimbang. Para Pemilih PPP mengalihkan pilihannya ke Partai Keadilan Sejahtera. Untuk wilayah Balandongan Kaler Partai Keadilan Sejahtera selalu tampak dominan dari partai-partai lainnya.

Pengaruh akar sejarah ini kuat mempengaruhi pilihan masyarakat Balandongan. Ada satu sejarah yang belum saya tuntaskan. Pada tahun 1990an, NII (Negara Islam Indonesia) pernah masuk ke Balandongan dan dipilih oleh beberapa orang meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi. Pandangan para kader NII terhadap Negara ini merupakan Thagut yang harus dimusnahkan adalah benar adanya. Pada suatu waktu, di malam tanggal 17 Agustus, para kader NII melempar-lemparkan umbul-umbul ke tengah sawah, para pemuda yang telah didoktrin itu menjelma menjadi penentang Negara yang dianggapnya sebagai Thagut , penganut system Jahiliyah. Dengan tanpa merasa takut terhadap runtuhnya toleransi, para kader NII siap berpisah dengan keluarganya, tidak tanggung-tanggung, pandangan mereka terhadap orang yang belum menjadi kelompoknya dianggap masih “Kafir dan Jahily” meskipun mereka selalu membaca syahadat ketika sholat.

Sampai hari ini, pergulatan politik di Balandongan telah begitu cair dan terbuka. Pragmatism politik sudah memengaruhi masyarakat, orang bisa berubah pilihan pada saat yang sulit ditentukan arahnya. Namun, untuk para kader yang dulu pernah menjadi anggota NII, saya piker, ini begitu mustahil untuk memasuki partai, kelompok, lembaga, yang mereka anggap sebagai kepanjangan tangan dari Thogut. Ketika memasuki ke dalam arena itu pun, mereka harus bisa mewarnai dan mengajak orang lain agar masuk ke dalam kelompoknya, menjadi anggota NII yang akan memperjuangkan berdirinya Syaria’at Islam. Dan saya yakin, orang Balandongan akan berpikir jernih di dalam menentukan pilihan serta ajakan dari orang-orang NII tersebut. Sebab, keyakinan yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita, tidak pernah berani mengumbar kata-kata kotor apalagi menyebut Kafir kepada orang yang telah dengan terbuka dan jelas pergi ke Mesjid, mengumandangkan adzan, serta Sholat. Wallahu ‘alaam

Sukabumi, Januari 2012
Kang Waca