Tim Katastropik Purba: Baca Pola Bencana Indonesia

Bookmark and Share


Tim Katastropik Purba: Baca Pola Bencana Indonesia

Yudhi Halim/Fotokita.net



Sebagai negara yang terletak di atas tiga lempeng besar dunia dan sembilan lempeng kecil lainnya, Indonesia berisiko mengalami berbagai jenis bencana. Mulai dari tanah longsor, banjir, gempa, hingga Tsunami. Kesemua bencana ini lebih sering terjadi di satu dekade terakhir. Di mana bencana dengan dampak terbesar adalah Tsunami yang melanda Aceh di tahun 2004.

Namun, masifnya bencana yang melanda Indonesia tak membuat sistem pendokumentasian bencana terorganisir dengan baik. Ini menyebabkan bencana-bencana yang pernah terjadi ribuan tahun lalu tak terekam jejaknya. Padahal hasil dokumentasi tersebut bisa dijadikan referensi pembelajaran untuk mengatasi bencana berikutnya.

Terbentuklah Tim Katastropik Purba (KP), yang berisi ahli geologi juga beberapa keilmuan lain. Tim ini bertugas melakukan penelitian secara dalam terhadap bencana-bencana besar pada masa lalu terutama pada masa purba yang berpotensi mengulang.

"Yang dipelajari oleh tim KP adalah meneliti peradaban dan bencana alam besar purba di Nusantara. Menyusun kronologi peradaban dan bencana serta kaitannya," kata Danny Hilman sebagai salah satu anggota KP dalam acara diskusi 'Menguak Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba di Nusantara untuk Memperkuat Karakter dan Ketahanan Nasional' di Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (7/2).

Ditambahkan oleh Danny, jika pola bencana ini juga bisa jadi alasan kemunculan dan hilangnya suatu peradaban di masa lampau yang terkait dengan bencana saat ini. Serta bisa digunakan untuk meneliti ulang kronologi sejarah dan atau situs bangunan dengan motode geologi.

"Temuan-temuan KP akan disampaikan ke beberapa pihak. Karena hampir semua riset gempa di Indonesia lebih bersifat pribadi dan tidak terorganisir," ujar Staf Ahli Presiden Bidang Bencana Andi Arief.

Tak Terdokumentasi, Masyarakat 'Buta' Bencana

Salah satu contoh buruknya pendokumentasian bisa terlihat dalam gempa pada 28 Agustus dan 3-4 September 2011 di Kabupaten Bandung Barat. Menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), gempa ini terjadi karena pergerakan Sesar Lembang.

Warga yang sudah menghuni lokasi itu selama enam generasi mengaku kaget, karena inilah kali pertama merasakan gempa di bawah kaki mereka. Padahal, kewaspadaan ini bisa ditumbuhkan oleh para pendahulu mereka. Sebab, dari hasil penelitian Eko Yulianto dalam National Geographic Indonesia edisi Februari 2012, disebutkan jika wilayah ini pernah dilanda bencana gempa.

"Gempa dengan kekuatan besar pernah terjadi sekitar 500 tahun lalu dengan besaran 6,6 skala Richter. Sebelumnya, pada 2000 tahun yang lalu terjadi gempa yang pertama, dengan kekuatan sekitar 6,8 skala Richter," ujar Eko.

Wilayah Sesar Lembang membentang dari timur ke barat—dari kaki Gunung Manglayang sampai ke tepian kawasan karst Padalarang. Dengan panjang sekitar 22-25 kilometer, wilayah ini dihuni oleh ribuan bangunan permukiman, restoran, hotel, asrama dan sekolah militer, juga tempat penelitian astronomi, berdiri di dasar patahan di sisi utara dan di puncak patahan di sisi selatan.
NationalGeografic